Mendambakan Akhir yang Baik

 

Suatu hari Imam Ghazali berkumpul dengan murid-muridnya, lalu ia bertanya pada mereka, ”Apa yang paling dekat dengan kita di dunia ini?” Murid-muridnya menjawab, “Orang tua, guru, teman, dan kerabat. Lalu sang Imam berkata, “Semua jawaban kalian benar. Tetapi yang paling dekat dengan kita adalah mati.” Sebab janji Allah dalam Quran “Kullu nafsin dza-iqatul maut” Setiap bernyawa pasti akan mati (QS Al Imran 185).

 Setiap manusia yang hidup di dunia hakikatnya dalam masa penantian. Menanti datangnya ajal sebagai gerbang untuk melanjutkan hidup yang sesungguhnya, yakni hidup sesudah mati. Tidak sedikit yang memahami hal ini bahkan terlena oleh gemilangnya dunia hingga lupa bahwa hidup di dunia hanyalah fana. Dunia hanyalah persinggahan sesaat sebelum menuju kehidupan sesungguhnya, alam akhirat.

Sungguh kematian tidak mengenal usia baik yang muda apalagi yang tua. Tenggelamnya kapal selam KRI Nanggala 402 sebagai momentum pengingat diri bahwa ajal begitu


dekat. Sekaligus menyadarkan kepada kita bahwa waktu di dunia sangatlah singkat jika dibandingkan dengan kehidupan di akhirat yang kekal dan abadi, sebagaimana diriwayatkan Al Mustawid bin Syadad r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: “ Wallaahi, tidaklah perbandingan dunia dengan akhirat melainkan seperti salah seorang di antara kalian yang memasukkan jarinya ke dalam lautan, maka lihatlah seberapa banyak air yang ikut pada jari itu.”

Tidak bisa dibayangkan singkatnya kehidupan di dunia hanya diibaratkan tetesan air di satu jari. Sangatlah sia-sia jika waktu yang sedikit tidak mampu memperbaiki diri dalam beribadah, memperbaiki hubungan kepada Allah (habluminallah) dan hubungan dengan sesama manusia (habluminannas).

Dalam kondisi pandemi Covid 19 saat ini, meninggal dalam usia muda menjadi hal yang biasa didengar. Karena sekali lagi usia bukanlah patokan siapa yang lebih dulu kembali kepada-Nya. Bukankah Allah SWT telah mengingatkan kita, bahwa kematian itu akan menjemput kapan saja dan tak seorang pun mampu untuk menghalanginya. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S Al A’raf ayat 34: “walikulli ummatin ajalun fa-idzaa jaa-a ajaluhum laa yasta'khiruuna saa’atan walaa yastaqdimuuna, yang artinya “Dan setiap umat mempunyai ajal (batas waktu). Apabila ajalnya tiba, mereka tidak dapat meminta penundaan atau percepatan sesaat pun.

Imam Qurthubi r.a. pernah meriwayatkan bahwa Ad Daqqaq berkata: “Barangsiapa yang banyak mengingat mati, ia akan dimulyakan dengan tiga perkara, yakni: bersegera bertaubat, hatinya merasa cukup dan semangat dalam beribadah. Sebaliknya bangsiapa yang melupakan mati, ia akan dihukum dengan 3 perkara: menunda taubat, tidak ridha dengan rasa cukup, malas dalam beribadah.

 Rasulullah pernah bersabda: “Wa kafa bil mawti wa idzho”, yang artinya “Cukuplah kematian itu sebagai pengingat.” Artinya bahwa kematian sebenarnya sudah cukup menjadi nasehat agar manusia selalu ingat dan beribadah kepada Allah SWT. Agar manusia selalu ingat dan beribadah kepada Allah SWT, agar manusia menjauhi segala macam bentuk kemaksiatan, menjauhi perilaku memperkaya diri dengan korupsi, suap menyuap, dan sebagainya.

 Tentu hal yang paling didambakan setiap insan adalah mendapatkan akhir hidup yang baik. Bukan tidak mungkin ketika manusia menjadikan kematian sebagai nasehat diri maka dunia ini akan tenteram, damai dan sejahtera, tidak ada lagi kejahatan yang dilakukan di muka bumi.

Tayang di SKH "Mutiara Jumat" 11 Juni 2021

 

 

 

Posting Komentar

0 Komentar